Oleh :DodikPrasetyo)*
Media seakan tak pernah lepas dari sorotan akan Pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019, baik media arus utama ataupun media online, berlomba – lomba menyajikan konten Pemilu yang terkadang membakar emosi netizen, sehingga ledakan amarah antar kedua kubu sulit untuk diredam.
Penyelenggaraan Pemilu tidak hanya terbatas pada pelaksanaan dan pengorganisasian teknis Pemilu yang selama ini menjadi domain Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun untuk melahirkan Pemilu yang berintegritas dengan prasyarat akuntabilitas dan transparansi, maka penyelenggaraan Pemilu memerlukan kontrol dan pengawasan.
Masyarakat juga bisa belajar dan memahami bahwa Pemilu di Indonesia bukan sekedar pesta para kandidat untuk sekedar merebut kekuasaan, tapi lebih dari itu Pemilu adalah sarana bagi rakyat untuk mengimplementasikan daulat yang dipunya dan dijamin oleh konstitusi.
Masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu tidak boleh hanya dijadikan sebagai obyek penyelenggaraan Pemilu, dan sekedar diharapkan untuk memberikan hak suaranya di bilik suara tapi lebih dari itu warga masyarakat harus dijadikan sebagai subyek dalam Pemilu dengan melibatkan dalam proses pengawasan Pemilu untuk memastikan bahwa hak suara yang sudah diberikan dapat tersalurkan dengan baik dan konstitusional.
Salah satu ciri penting dari proses penyelenggaraan Pemilu yang demokratis adalah proses Pemilu.Pemilu haruslah diselenggarakan tanpa adanya intimidasi, kekerasan, KKN dan terbebas dari kecurangan dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Namun tampaknya kampanye di Indonesia belum bisa terbebas dari unsur black campaign ataupun hoax. Belum lagi kampanye yang cenderung tidak substantif, dimana kedua kandidat di pilpres sangatlah minim dalam memberikdan political education pada masyarakat. Wacana ekonomi dan pembangunan hanya menjadi keriuhan yang berujung pada perdebatan yang tidak menyentuh akar permasalahan.
Kandidat dan tim yang enggan membahas permasalahan ekonomi, pembangunan dan lingkungan secara mendalam, memberikan sinyal akan adanya indikasi terjebaknya dua kandidat paslon tersebut dengan orang – orang di sekitarnya. Bukan rahasia umum, bahwa di lingkaran masing – masing capres yang akan bertarung di pilpres 2019 bercokol pengusaha yang bergerak di sektor pertambangan, perkebunan skala besar, properti dan sektor lainnya yang rentan dengan kerusakan alam.
Padahal apabila kandidat yang bertarung serius dan bertanggungjawab akan pendidikan politik masyarakat, semestinya perdebatan dapat mengarah pada Green Constitution yang tertuang dalam pasal 28 huruf A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Konsep Green Constitution sebenarnya pernah dijalankan di Indonesia dan hal ini mendapatkan apresiasi dunia. Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono pernah meraih 2 penghargaan sekaligus di New York pada tahun 2012 dari USABC. Penghargaan tersebut diterimanya atas dedikasinya di bidang ekonomi dan pembangunan serta pelestarian lingkungan.
Prestasi ini tentu bisa menjadi acuan bagi kedua kandidat dalam menyusun materi kampanye, tidak melulu membahas tentang ekonomi bangsa, saling menjatuhkan dengan membuka aib dan tebar hoax di dunia maya.
Analis Politik Arif susanto menuturkan, minimnya kampanye substansi atau mendidik saat ini karena kegagapan tim kampanye dalam menerjemahkan visi dan misi sang calon. Hal itu menyebabkan kampanye yang ditemukan saat ini lebih banyak soal – soal remeh – temeh yang hanya mengaduk emosi massa.
Kampanye semestinya merupakan bagian daru pendidikan bagi publik pemilih. Asumsinya melalui kampanye, masyarakat tidak hanya akan memahami lebih baik tentang kekuatan dan kelemahan program maupun personalitas calon, melainkan pula meningkatkan kecerdasan politiknya sehingga mendukung peningkatan kualitas demokrasi.
Sejauh ini publik lebih banyak disodori berita drama politik yang mengaduk emosi, namun minim stimulasi bagi pertimbangan – pertimbangan rasional calon pemilih. Akhirnya para calon pemilih hanya memilih berdasarkan drama politik yang beredar, bukan pada visi misi dan program yang digadang oleh para kandidat.
Hal ini bisa disebabkan oleh sosialisasi tim kampanye yang belum optimal, politisasi SARA yang berhasil pada 2017 di Jakarta dan minimnya terobosan untuk mengembangkan kampanye dialogis bagi pemilih rasional dan kampanye kreatif bagi pemilih milenial yang merupakan kelompok pemilih terbanyak.
Pemilih milenial cenderung memiliki karakter egaliter, pluralis, kreatif dan lebih peduli terhadap isu – isu bersama. Tanpa kampanye yang cerdas dan kreatif, kegaduhan politik tanpa makna hanya akan memberbesar apatisme sosial sekaligus menurunkan keualitas demokrasi di Indonesia.
Selain itu pembatasan teknis administratif kampanye oleh KPU justru mempersempit ruang kampanye, sehingga muncul cara – cara tidak elok untuk berkelit dari berbagai larangan.
Dalam situasi tersebut, tentu dibutuhkan aturan main kampanye yang lebih memadai. Pasangan calon maupun tim kampanye harus mampu mengembangkan komunikasi politik yang lebih cerdas dan kreatif.
Dalam mewujudkan Pemilu yang damai dan demokratis, tentu dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara pengawas Pemilu dengan seluruh pihak terutama dengan warga masyarakat yang memberikan perhatian besar terhadap pelaksanaan Pemilu yang berlangsung secara jujur dan adil. Kolaborasi antara pengawas Pemilu dengan warga masyarakat inilah yang dapat mewujudkan cita – cita kita bersama bahwa Pemilu bisa terlaksana dengan damai dan demokratis.
Sebenarnya ada banyak cara kampanye selain menebar kejelekan kandidat lain, segala bentuk black campaign atau ujaran kebencian dalam bentuk apapun, tidak akan pernah meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)