Palangka Raya, Media Dayak
Kalangan DPRD Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menargetkan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Pengendalian Kebakaran Lahan ditargetkan rampung sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota DPRD Kalteng periode 2014-2019. Pasalnya, para wakil rakyat ini menginginkan agar raperda tersebut sebagai kado di masa jabatan mereka untuk masyarakat Kalteng.
Menurut ketua tim pembahasan Raperda Karhutla, Hj Agus Susilasani, Raperda Karhutla ini telah melalui pembahasan yang panjang sejak diusulkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng, dikarenakan memuat pasal yang mengakomodir kearifan lokal dlm hal membuka lahan (bukan gambut) dengan cara membakar sebagaimana diatur dlm UUPLH 32 Tahun 2009.
Namun pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan zero burning sehingga pasal ini menjadi sorotan dan diminta untuk dihapus. Tetapi DPRD bersama Pemprov mencoba melakukan konsultasi ke beberapa kementerian terkait demi dipertahankannya pasal tersebut sebagai dukungan bagi masyarakat peladang.
“Pada awalnya, hasil fasilitasi dari Kemendari meminta agar pasal kearifan lokal tersebut dihapus dan digantikan dengan Masyarakat Hukum Adat. Namun pada saat konsultasi kami yang terakhir ke Kemendari, telah ada jawaban, dimana melalui hasil fasilitasi lanjutan dan sempat kami bahas kemarin, ada beberapa revisi yang akan dilakukan kembali terhadap raperda Karhutla, diantaranya yaitu penggantian judul dari Raperda Pengendalian Karhutla menjadi Raperda Pengendalian Kebakaran Lahan, jadi kata hutannya saja yang dihilangkan,”Ucap Agus Susilasani, saat konfirmasi media ini, melalui pesan Whatsapp, Jumat (14/6) kemarin.
Wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) IV, meliputi Kabupaten Barito Timur, Barito Selatan, Barito Utara dan Murung Raya ini juga menjelaskan, dalam rapat pembahasan pembahasan hasil fasilitasi tersebut, pihaknya juga mengsulkan untuk mengganti lg Kata Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan Kata Peladang/Pekebun. Hal ini dikarenakan ada penjelasan dari pihak eksekutif mengenai syarat-syarat penetapan MHA baik Masyarakat dan area/wilayah yang ditetapkan yang ditetapkan pemerintah secara yuridis formal.
”Ada penjelasan dari pihak eksekutif mengenai syarat-syarat penetapan MHA baik Masyarakat dan area/wilayah yang ditetapkan yang ditetapkan pemerintah secara yuridis formal, seperti adanya SK Bupati Pulang Pisau No 105 yang dikeluarkan panda bulan Maret tahun 2019 tentang penetapan MHA. Jadi untuk pembahasan sudah clear dan akan kita konsultasikan kembali ke Kemendagri, kita targetkan ini rampung sebelum masa jabatan kita berakhir sebagai kado untuk masyarakat Kalteng, khususnya untuk masyarakat lokal dan masyarakat peladang kita,”Terangnya.
Selain itu, dirinya juga mengklarifikasi terkait adanya miss komunikasi terkait MHA, bahwa pasal nomor 5 dan 6 yang menjadi perdebatan tersebut memang diusulkan untuk didrop tetapi bukan dihilangkan oleh anggota tim untuk dikonsultasi dengan pihak kemendagri.
“Pasal yang menjadi perdebatan tersebut memang diusulkan untuk didrop tetapi bukan dihilangkan oleh anggota tim untuk dikonsultasi dengan pihak kemendagri. Hal ini karena pihak biro hukum belum bisa merinci apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat dan menurut penjelasan biro hukum ada perbedaan antara masyarakat adat dan masyrakat hukum adat, serta ada penjelasan mereka terkait syarat-syarat penetapan MHA harus ditetapkan dengan perda ataupun pergub. Setelah mendengar penjelasan dari biro hukum maka pada pasal 5 ayat 3 diusulkan MHA diganti dengan kata peladang atau pekebun yang tujuan dan penerapannya untuk membuka lahan bagi peladang sehingga lebih dipermudah.”Pungkas Srikandi komisi D, yang membidangi Infrastruktur dan ketenagakerjaan ini.(Nvd)