Oleh : Rahmat Akurizki
Tak kurang dari 2 bulan lagi, Indonesia akan menggelar event lima tahunan yang krusial dalam konteks kehidupan demokrasi. Memasuki edisi kelima pasca reformasi 1998, Indonesia tengah bereksperimen dengan menggabungkan pemilihan parlemen dan presiden dalam satu kali penyelenggaraan. Bertepatan pula ternyata pada edisi kali ini undi kepala negara kita hanya melibatkan dua peserta, yang artinya pemilihan benar-benar hanya akan diadakan satu hari yakni tanggal 17 April 2019.
Tentu bukan tanpa alasan eksperimen ini diadakan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku pihak penyelenggara merasa perlu ada efisiensi dalam menggelar hajatan politik level nasional kali ini. Namun ada masalah baru yang timbul karena tak hanya eksekutif yang bertanding, namun juga legislatif. Legislatif sendiri saja sudah cukup kompleks dengan pertandingan di level Kabupaten, Provinsi, hingga Nasional. Di awal gagasan tentang penggabungan Pemilu dan Pilpres ini saja sudah muncul pro kontra semisal terkait Presidential Threshold, yang pada akhirnya merubah banyak hal seputar regulasi pada Pilpres 2019.
Selain di tataran elit, permasalahan juga menyangkut masyarakat selaku pemilih. Beragamnya komposisi masyarakat tentu memerlukan pendekatan yang berbeda pada masing-masing segmentasinya. Sebagai contoh, para orang tua kita yang telah lansia dan saudara-saudara kita yang berpendidikan rendah, tentu akan kesulitan dengan banyaknya kertas yang harus dicoblos saat hari Pemilu nanti. Maka KPU perlu mengakomodir seluruh keperluan masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan terhadap para pengguna hak pilih. Hal ini dalam rangka mencapai kualitas Pemilu yang optimal.
Sejatinya setiap edisi Pemilu memiliki tantangannya masing-masing, bergantung bagaimana kondisi kekinian yang tengah berlaku di masyarakat. Untuk Pemilu 2019 ini, selain eksperimen Pemilu dan Pilpres yang bersamaan, tantangan lain juga hadir melalui dinamisnya perkembangan teknologi informasi pada masyarakat yang mulai didominasi oleh generasi milenial. Hal ini secara tidak langsung meningkatkan suhu politik akibat tingginya intensitas pertukaran opini melalui media sosial. Meski pada akhirnya tingginya partisipasi publik pada isu politik ini belum tentu berkorelasi pada meningkatnya partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilih.
Jika kita kembali pada persoalan bagaimana mencapai kualitas Pemilu yang optimal, maka kita perlu menentukan faktor kunci pada Pemilu 2019 kali ini. Diharapkan dengan mengetahui faktor ini, kita dapat menjaga situasi sehingga Pemilu tetap sesuai harapan. Beberapa yang dapat kita jadikan sebagai faktor kunci pada Pemilu 2019 antara lain :
- Pemahaman Masyarakat Tentang Esensi Pemilu Dan Demokrasi
Bagi sebagian kita persoalan ini hanya dipandang sebagai masalah teoritis dan solusi yang hadir cenderung normatif. Padahal berbagai permasalahan yang timbul akibat perkembangan teknologi informasi ini justru akibat ketimpangan pemahaman masyarakat. Ada gap yang besar antara kebijaksanaan orang tua yang tak menjangkau teknologi dengan kelicahan anak muda yang lebih menyukai semua yang serba instan termasuk informasi. Juga timpangnya pengetahuan seputar politik yang dicerna anak kota dan anak desa.
Banyak sekali pihak mengeluhkan tentang maraknya berita hoaks yang mengganggu tatanan kehidupan politik yang mereka harapkan. Padahal kalau kita lihat di berbagai negara demokrasi lain, persoalan berita-berita sarat propaganda sudah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan berdemokrasi. Mengharapkan berita-berita seperti ini tak beredar apalagi di momen tahun politik adalah hal yang mustahil. Maka untuk melaksanakan suatu praktik demokrasi yang baik tentu diperlukan juga masayarakat yang berkapasitas untuk menjalankannya. Sehingga masyarakat akan tetap fokus pada esensi mereka berdemokrasi terlepas apapun informasi yang mereka terima dan percayai.
- Informasi Politik yang Bergizi
Dalam kontestasi politik semisal Pemilu, para elit dalam kapasitasnya sebagai peserta tentu akan melakukan strategi apapun. Termasuk melakukan sesuatu yang bersifat gimmick atau pencitraan untuk menarik simpati masyarakat. Padahal masyarakat perlu memilih dengan rasional guna meminimalisir kekecewaan terhadap hasil Pemilu. Maka diperlukan informasi politik yang bergizi agar masyarakat dapat mengetahui substansi dan tidak terjebak pada simbol.
Sebagai contoh, beberapa tahun terakhir isu agama menjadi hal yang sensitif dalam pembahasan politik dan menjadi domain yang diperhitungkan masyarakat dalam menentukan pilihan. Pada dasarnya hal itu justru baik karena tentu agama manapun memberikan referensi yang baik tentang pemimpin bagi para pemeluknya. Namun yang harus diperhatikan adalah bagaimana masyarakat tidak terjebak pada simbol dan malah luput pada substansi yang diharapkan agama. Untuk itu diperlukan informasi yang bergizi seputar politik identitas agar tak salah dalam memaknainya dan malah berujung pada politisasi.
- Kepercayaan Publik terhadap Penyelenggara Pemilu
Faktor ini menjadi yang paling krusial. Hal ini karena berkaitan dengan tingkat penerimaan masyarakat terhadap hasil Pemilu. Tingkat kepercayaan yang rendah dari masyarakat akibat buruknya integritas penyelenggara Pemilu tentu akan berdampak buruk pasca Pemilu, mulai dari sengketa yang berkepanjangan hingga setimen politik yang meruncing.
Guna memenuhi faktor-faktor tersebut, diperlukan beberapa komponen yang dapat berperan maksimal. Dengan kata lain, komponen inilah yang menjadi kunci kesuksesan Pemilu 2019. Mereka antara lain :
- Para Milenial dan Kelompok “Native Demokrasi”
Kita mungkin familiar dengan istilah generai milenial yang hari ini menjadi mayoritas pemilih dalam Pemilu 2019. Namun dalam barisan milenial itu ada sebuah kelompok yang diistilahkan sebagai kelompok native demokrasi. Istilah ini kerap dipakai beberapa pakar untuk menggambarkan mereka yang lahir tanpa pernah merasakan bagaimana kultur dan budaya politik sebelum reformasi.
Para milenial dan kelompok native demokrasi inilah yang paling layak memegang tanggung jawab untuk menjadi representasi masyarakat dengan pemahaman terhadap esensi demokrasi yang baik. Disamping karena penguasaan teknologi yang lebih mapan, budaya politik mereka juga lebih relevan dengan demokrasi dianding generasi tua yang kental akan otoritarian ala orde baru.
- Media Arus Utama
Sebagai sumber informasi yang diharapkan kredibilitasnya, media arus utama harus menyediakan informasi yang lebih bergizi bagi masyarakat sehingga masyarakat menjadikan media sosial sebagai alternatif, bukan sumber utama. Kekacauan yang terjadi pada kepercayaan masyarakat atas informasi yang mereka terima sejatinya bisa diinterpretasikan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap apa yang disajikan oleh media arus utama.
- KPU dan Bawaslu
Jika ada yang harus bertanggung jawab atas integritas penyelenggara Pemilu, maka KPU dan Bawaslu sendirilah yang harus mampu menjawab tantangan tersebut. Untuk menjaga integritas tersebut, satu-satunya cara adalah berpegang teguh terhadap regulasi yang diatur melalui perundang-undangan yang berlaku. Dengan begitu seluruh keputusan KPU dan Bawaslu memilki landasan hukum yang kuat dan memberi rasa nyaman bagi seluruh pihak yang terlibat.
Jika komponen-komponen tadi mampu menjawab tantangan dari faktor kunci di Pemilu 2019, maka harapan Indonesia untuk memiliki Pemilu 2019 yang damai, berkualitas, dan bermartabat masih mampu kita wujudkan.
*)Pengamat Sosial dan Politik