Oleh: Dwi Anindya *)
Hilirisasi produk hutan rakyat kini menjadi salah satu tonggak penting dalam memperkuat ekonomi desa sekaligus menjaga keseimbangan alam. Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan dan dukungan Komisi IV DPR RI menempatkan agenda ini sebagai strategi kunci dalam mengoptimalkan potensi perhutanan sosial agar tidak berhenti pada pemanfaatan bahan mentah semata. Dengan memperkuat rantai nilai produk hutan, masyarakat desa bukan hanya menjadi pelindung kawasan hutan, tetapi juga pelaku ekonomi produktif yang berdaya saing.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Kehutanan, Indra Explotasia, menilai bahwa salah satu hambatan utama dalam pengembangan kelompok tani hutan (KTH) adalah minimnya kegiatan hilirisasi. Banyak kelompok masih menjual hasil hutan seperti rotan dalam bentuk mentah karena belum memiliki fasilitas pengolahan. Menurutnya, pergeseran dari penjualan bahan mentah ke produk jadi menjadi langkah konkret untuk meningkatkan nilai tambah dan menciptakan peluang usaha baru di tingkat lokal. Ia juga menyoroti kesenjangan antara jumlah KTH yang mencapai 27 ribu kelompok dengan jumlah penyuluh kehutanan yang hanya sekitar 10 ribu orang, yang membuat pendampingan di lapangan terus ditingkatkan seiring penambahan tenaga penyuluh baru oleh pemerintah.
Pemerintah melihat bahwa penyuluh kehutanan memiliki peran vital, tidak hanya dalam aspek konservasi, tetapi juga dalam mendorong konversi aktivitas tersebut ke arah yang produktif secara ekonomi. Ketika masyarakat diajak berhenti dari praktik ilegal di kawasan hutan, penyuluh harus mampu menawarkan alternatif usaha yang menghasilkan pendapatan nyata. Pendekatan semacam ini menjadikan konservasi tidak sekadar aktivitas pelestarian, melainkan investasi sosial-ekonomi yang berkelanjutan.
Anggota Komisi IV DPR RI, Ellen Esther Pelealu, menyebut Sulawesi Tengah sebagai salah satu contoh keberhasilan implementasi hilirisasi perhutanan sosial. Nilai transaksi ekonomi kelompok tani hutan di provinsi tersebut mencapai Rp20,07 miliar, melampaui target Rp18,5 miliar atau sekitar 110 persen. Capaian ini menunjukkan bahwa ketika pemerintah daerah, masyarakat, dan penyuluh bekerja dalam sinergi, potensi ekonomi hutan rakyat dapat berkembang pesat. Pemerintah bahkan berencana menaikkan anggaran sektor kehutanan menjadi Rp6,39 triliun pada tahun 2026, meningkat 21,4 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini diarahkan untuk memperkuat biaya operasional penyuluh, termasuk kebutuhan sarana, prasarana, dan unit percontohan yang menjadi tulang punggung keberhasilan program hilirisasi.
Sinergi antara DPR RI dan Kementerian Kehutanan terus diperkuat melalui berbagai kunjungan kerja ke daerah, salah satunya ke Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam kunjungan bertema Hilirisasi Produk Perhutanan Sosial tersebut, Ketua Tim Kunjungan, Mayjen TNI (Purn) Sturman Panjaitan, menekankan bahwa pemberian akses kelola hutan kepada masyarakat tidak akan berarti tanpa penguatan hilirisasi. Ia menyebut hilirisasi sebagai “jembatan emas” yang menghubungkan konservasi di hulu dengan kesejahteraan masyarakat di hilir. Prinsip ini sejalan dengan arah pembangunan nasional yang mengedepankan ekonomi hijau sebagai basis pertumbuhan berkelanjutan.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan, Novia Widyaningtyas, mengungkapkan bahwa hingga 2025, program Perhutanan Sosial telah memberikan akses kelola seluas 8,3 juta hektare kepada masyarakat melalui lebih dari 11 ribu surat keputusan, dengan manfaat langsung bagi 1,4 juta kepala keluarga di seluruh Indonesia. Di Kalimantan Selatan, misalnya, telah terbit 192 izin perhutanan sosial dengan total luas sekitar 98 ribu hektare, serta pengakuan terhadap sembilan masyarakat hukum adat dengan wilayah adat seluas 44 ribu hektare.
Keberhasilan hilirisasi di wilayah ini juga terlihat dari keberagaman produk yang dikembangkan, mulai dari madu hutan, gula semut aren, minyak atsiri dari gaharu dan kayu manis, rotan olahan, hingga jasa ekowisata. Berdasarkan data *goKUPS*, nilai transaksi ekonomi perhutanan sosial di Kalimantan Selatan sejak 2013 hingga 2025 mencapai Rp5,03 miliar dari 102 kelompok usaha. Bahkan, beberapa kelompok telah menembus pasar ekspor, di antaranya pengiriman komoditas agroforestri ke Jepang senilai Rp989 juta pada 2024, kopi robusta ke Dubai senilai Rp526,6 juta pada 2025, serta ekspor 30 ton getah damar ke India dan 15 ton pala ke Tiongkok dengan total nilai Rp2,07 miliar.
Langkah-langkah konkret terus diperkuat oleh Kementerian Kehutanan untuk memastikan keberlanjutan gerakan hilirisasi ini. Pemerintah fokus pada peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan pendampingan kelembagaan KUPS, memfasilitasi akses pembiayaan melalui perbankan dan BUMN, serta memperluas infrastruktur dan teknologi untuk memastikan produk memenuhi standar global. Tidak kalah penting, regulasi dan tata niaga terus diperbarui agar berpihak pada produk perhutanan sosial dan memberi ruang bagi tumbuhnya industri lokal di kawasan hutan.
Upaya hilirisasi tidak hanya menumbuhkan ekonomi desa, tetapi juga memperkuat fungsi konservasi. Masyarakat yang memperoleh manfaat langsung dari hutan akan memiliki insentif kuat untuk menjaga kelestariannya. Dengan kata lain, semakin tinggi nilai ekonomi yang dihasilkan dari hutan yang lestari, semakin kuat pula komitmen masyarakat untuk melindunginya. Konsep ini menegaskan bahwa kesejahteraan dan konservasi bukan dua tujuan yang bertentangan, melainkan saling menopang. Dengan semangat kolaborasi yang berkelanjutan, hutan rakyat tidak lagi dipandang sebagai sumber bahan mentah, melainkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi desa dan benteng konservasi alam Indonesia.
*) Pengamat Kebijakan Publik dan Pembangunan Daerah